
Dekan Fakultas Tafsir & Ulumul Quran Universitas Islam Gaza, Palestina, Prof. Mahmoud Hasyim Anbar, saat wawancara khusus dengan ANTARA di Jakarta, Kamis (26/12/2024). ANTARA/Kuntum Riswan/aa.
Mengapa kami di Gaza melakukan serangan 7 Oktober. Itu dalam rangka kami melawan. Kami ingin hidup dalam kemuliaan dan bebas.”
Mahmoud Hasyim Anbar, pria kelahiran pada 1962, melontarkan pernyataan tersebut ketika ditanya pesan apa yang ingin ia sampaikan untuk mewakili suara masyarakat Gaza.
Berprofesi sebagai Dekan Fakultas Tafsir & Ulumul Quran Universitas Islam Gaza, Palestina, Profesor Anbar atau yang lebih akrab disapa Syeikh Anbar, diboyong ke Indonesia oleh Aqsa Working Grup — gerakan Muslim untuk Palestina dan Al-Aqsa yang berpusat di Indonesia — sejak awal November lalu.
Mengajar di Universitas Islam Gaza sejak 2006, Syeikh Anbar keluar dari Gaza pada Mei 2024, atau tujuh bulan setelah Hamas melancarkan serangan kepada Israel yang telah menjajah wilayah tersebut selama puluhan tahun.
Syeikh Anbar bercerita bahwa dirinya keluar dari Gaza menuju Mesir setelah berpindah-pindah tempat pengungsian sebanyak delapan kali, mulai dari Gaza Utara, Gaza Tengah, hingga Gaza Selatan.
Kondisi kesehatan yang kian menurun setelah terserang COVID-19 dan tidak ada lagi fasilitas yang memadai, menjadi alasan ia bersama istri dan anak-anaknya keluar dari tanah kelahiran mereka.
Namun, setelah menyelesaikan perawatan, dirinya tidak dapat kembali masuk ke Gaza karena Rafah, yang menjadi pintu keluar masuk Gaza, sudah ditutup oleh tentara Israel.
Syeikh Anbar dan keluarga terpaksa menetap di Kairo dengan rumah yang sangat sederhana karena kondisi ekonomi yang sangat memburuk setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Menahan kerinduan akan tanah kelahirannya, ia sangat berharap agar perang Israel di Gaza bisa segara usai, meskipun rumah dan mobil yang dulu dimilikinya sudah sirna.
Kondisi pengajaran di Gaza
Sebagai institusi pendidikan tinggi pertama di Jalur Gaza, Universitas Islam Gaza didirikan pada 1978 dan memegang peran yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan dan masyarakat Palestina.
Sebelum tentara Israel membalas serangan dari kelompok perlawanan Palestina, Hamas, universitas yang menjadi salah satu universitas terkemuka di wilayah Timur Tengah tersebut, memiliki sekitar 22.000 pelajar.
Sistem pembelajaran berjalan sebagaimana layaknya di kampus-kampus di seluruh dunia. Universitas Islam Gaza memiliki tiga jenis kelas. Kelas 1 belajar selama 4 bulan dan kemudian melakukan ujian-ujian tingkat awal. Kelas 2 juga belajar selama 4 bulan yang diselingi dengan ujian tingkat tengah semester dan ujian akhir semester.
Sedangkan kelas 3 merupakan kelas khusus yang berlangsung selama musim dingin. Para mahasiswa hanya belajar dengan durasi 2 bulan dan hanya mendapatkan ujian tingkat tengah semester.
Para dosen biasanya mengajar selama 15 jam setiap pekannya. Bagi dosen yang mengajar untuk kelas S-2, mengajar selama 12 jam setiap pekan. Sedangkan dosen yang menyandang gelar profesor, hanya mengajar selama 9 jam dalam setiap pekan.
Namun, sejak eskalasi serangan, kampus dengan taman-taman yang indah tersebut kini hampir keseluruhan infrastrukturnya sudah rata dengan tanah. Laboratorium yang menunjang pembelajaran sudah tidak bisa lagi digunakan karena tentara Israel tidak hanya menargetkan Hamas, namun juga fasilitas sipil.
Serangan tentara Israel yang dahsyat dan bertubi-tubi, kata Anbar, membuat sebagian besar masyarakat Gaza yang tinggal di pengungsian hidup dalam keterbatasan. Tidak ada tempat yang layak untuk buang air, ketersediaan makanan dan minuman yang sangat terbatas, hingga ekonomi yang lumpuh total.
Banyak orang-orang yang kaya jatuh miskin, bahkan profesor yang biasa mendapat 1.500 dolar AS (Rp24,3 juta) atau lebih setiap bulan dan rutin, sejak serangan 7 Oktober hanya mendapat 200-300 dolar AS (RpRp3,2-4,8 juta) menyesuaikan kondisi kampus.
Situasi tersebut tak lantas membuat para mahasiswa untuk menghentikan keinginan untuk melanjutkan studi, namun dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan, pihak kampus memutuskan untuk melanjutkan pengajaran secara daring, baik bagi mahasiswa yang berada di sana maupun yang berasal dari Indonesia.
Komunikasi antara para mahasiswa untuk jenjang pendidikan Strata-1, Strata 2, hingga Strata-3, utamanya dilakukan melalui WhatsApp serta media sosial Facebook dan Instagram, sesekali menggunakan platform pertemuan daring Zoom.
“Walaupun pengungsian dan kondisi yang sangat sulit, tetap mereka berusaha untuk bisa belajar secara online bersama dosen-dosen mereka. Bahkan mereka dibebaskan dari biaya pembayaran setiap semesternya. Dan (keuangan) para dosen pun tentu juga berpengaruh,” ucap guru besar itu.
“Tentunya mereka berharap, berdoa kepada Allah, semoga perang ini segera berhenti dan mereka bisa melanjutkan kuliah sebagaimana mestinya di kampus mereka,” tambah dia.
Bunyi pesawat sebagai tanda mengungsi
Perang genosida di Gaza yang telah meningkat sejak 7 Oktober 2023, menewaskan 45.500 orang yang sebagian besar wanita dan anak-anak. Di antara puluhan ribu korban tersebut, sebanyak 18 orang merupakan anggota keluarga Anbar.
Rumah dengan kondisi yang sangat memadai, nyaman ditinggali, memiliki perabotan yang lengkap, serta mobil yang bisa mengantarkannya bersama keluarga berkeliling Gaza dan Palestina, kini hanya tinggal kenangan.
Kampus yang menjadi tempat dirinya mencari nafkah juga sudah hancur. Diperkirakan pembangunan ulang kampus akan membutuhkan waktu sekitar dua tahun dengan syarat perang telah berhenti.